Dalam diri setiap manusia terdapat naluri (Gharizah) yang memang melekat (dimiliki) pada diri setiap makhluk hidup termasuk manusia. Manusia memiliki tiga macam gharizah (naluri) yaitu gharizah tadayyun, gharizah baqa’ dan gharizah an‐nauw’. Gharizah (naluri) tidak bisa dhilangkan namun hanya bisa disalurkan dengan benar sesuai ketentuan‐ketentuan syara’.
Perasaan cinta dan kasih sayang terhadap orang lain merupakan bagian dari gharizah (naluri) annau’ manusia yang tidak bisa dihilangkan namun perasaan cinta tersebut harus disalurkan dengan benar. Demikian juga dengan gharizah tadayyun (taqdis). Penyaluran gharizah tadayyun pun memang harus benar. Semuanya harus berdasarkan pada pertimbangan syara’, tidak boleh ‘ngasal’.
Mengagungkan sesuatu yang lebih hebat atau yang dianggap memiliki kelebihan adalah bagian dari naluri tadayyun ini. Amal ibadah yang kita lakukan merupakan implementasi dari bekerjanya gharizah tadayyun dengan baik, serta sifat manusia yang merasa bahagia terhadap orang yang dicintainya maupun kehadiran orang yang dicintainya merupakan bagian dari gharizatun nau’ yang juga bekerja dengan baik.
Mengagungkan sesuatu yang lebih hebat atau yang dianggap memiliki kelebihan adalah bagian dari naluri tadayyun ini. Amal ibadah yang kita lakukan merupakan implementasi dari bekerjanya gharizah tadayyun dengan baik, serta sifat manusia yang merasa bahagia terhadap orang yang dicintainya maupun kehadiran orang yang dicintainya merupakan bagian dari gharizatun nau’ yang juga bekerja dengan baik.
Rasa gembira kita sebagai manusia (umat Islam) dengan kehadiran Baginda Nabi Muhammad Shallahu ‘alayhi wa sallam sebagai pelita didunia ini, khatamannabiyyin wa sayyid al‐mursalin, tidak lain adalah dorongan dari adanya gharizatun nau’. Hal ini wajar sebagai manusia yang normal, selama bisa disalurkan dengan baik selaras dengan ketentuan syara’. Banyak cara untuk mensyukuri dan menyalurkan rasa cinta kita kepada Sang Baginda atas kelahirannya ke alam semesta ini dan banyak cara untuk mengungkapkan rasa kegembiran terhadap kehadiran Manusia pilihan ini.
Didalam al‐Qur’an, Allah SWT memang telah menjadikan hari dimana para Nabi dilahirkan kedunia sebagai hari yang berbeda dengan hari yang lain. Bahkan Allah hendak menggembirakan umat manusia dengan lahirnya seorang Nabi. Serta kejadian‐kejadian luar biasa Allah munculkan sebagai tanda kelahiran (Maulid) Nabi Muhammad shallahu’alaihi wa sallam.
“{Kesejahteraan} dari Kami {atas dirinya pada hari ia dilahirkan dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali’} (QS. Maryam 19 : 15, Jalalain)
“{Dan kesejahteraan} dari Allah {semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali}” (QS. Maryam 19 : 33, Jalalain)
“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang‐orang yang saleh” (QS. Ash‐Shaaffat 37 : 112)
Berbagai kejadian ajaib, dijelaskan didalam kitab “Anwarul Muhammadiyah” (Dar Kutub Ilmiyah, Lebanon) hal 19 ;
“Dan sebagian dari keajaiban‐ajaiban kelahiran Nabi (ملسو هيلع ﷲ ىلص), yaitu apa yang diriwayatkan tentang keruntuhan singgasana kaisar Kisra, hancurnya 14 Syurfah (jendela besar) dari syurfah‐syurfah yang ada di Kisra, …, dan padamnya api Farisi (Persia), padahal api tersebut 1000 tahun tidak pernah padam sebagaimana yang diriwayatkan orang banyak, …, dan lahirnya Nabi (ملسو هيلع ﷲ ىلص) dalam keadaan dikhitan dan ceria sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dan yang lainnya, dan dari Anas ra , sesungguhnya Nabi (ملسو هيلع ﷲ ىلص) bersabda, “sebagian dari karomahku atas (kehendak) Rabbku bahwa sesungguhnya aku dilahirkan dalam keadaan khitan...”
“dan dari Ibnu Abbas rahiyallahu ‘anhumaa, Nabi (ملسو هيلع ﷲ ىلص) dilahirkan pada hari senin, diangkat jadi Nabi pada hari senin, keluar berhijrah dari Mekkah menuju Madinah pada hari senin, dan masuk Madinah pada hari senin, dianggkatnya al‐hajar pada hari senin, dan demikian juga fathu (pembebasan kota) Mekkah dan turunnya surat Al‐Maidah pada hari senin”
Maka wajar saja jika umat Islam yang mengaku sebagai umat Nabi Muhammad bergembira akan dilahirkannya Beliau ke semesta alam ini dan bersyukur atasnya. Kemudian merayakannya setiap waktu, setiap kesempatan yang didalamnya ada perasaan gembira, kesenangan dan semangat dalam mencintai maupun kebersamaan yang tidak hanya dihari kelahiran beliau yaitu hari Senin (Rabi’ul Awwal). Namun, tentunya lebih‐lebih dihari kelahiran Beliau, maka perasaan kegembiraan, kesenangan dan semangat tersebut akan semakin menyala‐nyala dalam mengingat dan mentauladani serta mempelajari kisah perjalanan hidup Beliau untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Sebab Beliau adalah karunia terindah dan teragung yang telah Allah berikan kepada umat manusia.
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang‐orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat‐ayat Allah,membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar‐benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali Imran 3 : 164)
Kegembiran karena kehadiran beliau (ملسو هيلع ﷲ ىلص) merupakan sesuatu yang oleh al‐Qur’an, sebagaimana firman Allah :
“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat‐Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat‐Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan" (QS. Yunus 10 : 58)
Allah telah memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat‐Nya, karena itu lebih baik dari apa saja yang kita kumpulkan (miliki), sedangkan kita tahu bahwa Nabi (ملسو هيلع ﷲ ىلص) adalah rahmat bagi semesta alam ini.
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al‐Anbiyaa’ 21 : 107)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Al‐Imam Ibnu Abbas ra tentang surat Yunus ayat 58, ia berkata :
“Al‐fadhl (karunia) adalah ilmu dan ar‐Rahmah adalah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam” [Tafsir al‐Bahr al‐Muhith (طيحملا رحبلا ريسفت), lihat juga (شيفطا ريسفت)] Peringatan Maulid Nabi juga yang didalamnya terdapat pembacaan ayat suci Al‐Qur’an, Shalawat Nabi, dibacakan kisah‐kisah kenabian (mukjizat, sirah dan pribadi Nabi) yang bisa diambil pelajaran untuk diteladani. Hidangan yang diberikan kepada hadirin juga merupakan shadaqah yang sangat dianjurkan. Didalam peringatan tersebut, juga dibacakan syair‐syair dan qashidah pujian kepada Baginda Rasulullah (ملسو هيلع ﷲ ىلص). Diisi dengan tausiyah‐tausiyah (nasehat), dimana majelis Maulid tersebut juga bisa dijadikan sebagai sarana memberikan solusi terhadap permasalahan umat Islam. Semua itu memiliki landasan dalam syari’at Islam.
“Sesungguhnya Allah dan malaikat‐malaikat‐Nya bershalawat untuk Nabi . Hai orang‐orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al‐Ahzab 33 : 66)
“Dan semua kisah dari rasul‐rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah‐kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu ; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang‐orang yang beriman” (QS. Huud 11 : 120)
“Dan semua kisah dari rasul‐rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah‐kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu ; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang‐orang yang beriman” (QS. Huud 11 : 120)
“maka aku mendengar Abbas bin Abdul Muttalib berkata, “ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin menyanjungmu”, maka Rasulullah berkata ;“Katakanlah …”. Maka sayyidina Abbas membaca (diantara isi syairnya) : .. قفلأا كرونب تءاضو ضر لأا تقرشأ تدلو امل تنأو
“Dan engkau (wahai Rasulullah) pada saat hari engkau dilahirkan, terbitlah cahaya bumi hingga bersinar terang hingga ufuk pun bercahaya dengan cahayamu.”
قرتخن داشرلا لبسو رونلا يفو ءايضلا كلذ يف نحنف
“Maka kami (saat ini) didalam naungan sinar dan berada dalam cahaya serta jalan yang mulya yang kami terus mendalaminya”(Al‐Mustadrak ala asy‐Shahihaiyn (نيحيحصلا ىلع كردتسملا) No. 5417, Al‐Imam Hakim ( دبع نب دمحم يروباسينلا مكاحلا ﷲ دبع وبأ ﷲ), Dar al‐Kitab al‐Ilmiyah, Beirut ( ‐ ةيملعلا بتكلا راد توريب))
نب نايفس انثدح ورمع لاق نايفس نع مھلك رمع يبأ نباو ميھاربإ نب قاحسإو دقانلا ورمع انثدح
دجسملا يف رعشلا دشني وھو ناسحب رم رمع نأ ةريرھ يبأ نع ديعس نع يرھزلا نع ةنييع
تعمسأ ﷲ كدشنأ لاقف ةريرھ يبأ ىلإ تفتلا مث كنم ريخ وھ نم هيفو دشنأ تنك دق لاقف هيلإ ظحلف
معن مھللا لاق ؟ سدقلا حورب هديأ مھللا ينع بجأ لوقي ملس و هيلع ﷲ ىلص ﷲ لوسر
“Sesungguhnya Umar menegur Hasan yang sedang menyanyikan (melantunkan) syair didalam Masjid, maka (Hasan) berkata : “Sungguh aku telah melantunkan (sya’ir) ini dihadapan orang yang lebih baik dari engkau (yaitu Rasulullah). Kemudian Hasan berpaling kepada Abu Hurairah, maka berkata bukankah saat melantunkan (syair) Rasulullah mendengarkanku seraya berkata menjawabnya dariku, “ya Allah bantulah ia dengan (kekuasaan) ruhul Qudus ? berkata (Abu Hurairah) ; ya Allah… benar”.” [Shahih Muslim No. 2485, توريب - يبرعلا ثارتلا ءايحإ راد]
Semua yang dilakukan dalam peringatan Maulid Nabi pada dasarnya merupakan anjuran yang menghantarkan kita untuk semakin mencintai Rasulullah. Dan segala sesuatu yang dapat menghantar kepada sesuatu yang dianjurkan oleh syari’at maka hukumnya sama dengan yang dianjurkan. Sesuai dengan kaidah berikut ini serta kebaikan apapun tidak ada yang disia‐siakan disisi Allah Subhanahu wa ta’alaa. Didalam peringatan Maulid Nabi tidak ada pembicaraan kotor, yang ada hanya pembicaraan (ucapan) yang semua mengandung hikmah.
دصاقملا ماكحأ ىطعت لئاسولا
“Semua sarana suatu perbuatan hukumnya sama dengan tujuannya ( perbuatan tersebut )”
نيِنسحملا رجَأ عيضُي َلا َﷲ نِإ
“Sesungguhnya Allah tidak menyia‐nyiakan pahala orang‐orang yang berbuat baik” (QS. At‐Taubah : 120)
ُهعَفرَي حِلاصلا لمعلاو بﱢيﱠطلا مِلكلا دعصَي هيَلِإ ًاعيمج ُةزعلا هﱠلِلَف َةزعلا ديرُي ناك نم
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah‐lah kemuliaan itu semuanya. Kepada‐Nyalah naik perkataan‐perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan‐Nya”(QS. Al Fathir : 10)
Dan sangat tidak pantas bagi orang yang berakal yang mengaku sebagai umat Baginda Rasulullah Muhammad kemudian bertanya kepada orang yang merayakan Maulid Nabi, dengan berkata, “kenapa kalian merayakan Maulid Nabi ?”. Pertanyaan ini sama saja dengan menanyakan, “Kenapa kalian bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad Shallahu ‘alayhi wa sallam ?”. Seolah‐olah ia juga bertanya, “Kenapa kalian merasa gembira dan bahagia karena orang yang di Isra’kan dan di Mi’raj‐kan ini ?”. Apakah pantas pertanyaan seperti itu muncul dari seorang Muslim yang berakal, yang telah bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan telah bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah ?”
Pertanyaan seperti diatas adalah pertanyaan basi yang memang tidak memerlukan jawaban. Cukuplah bagi orang yang ditanya menjawabnya dengan,“kami merayakannya sebab kami senang dan gembira dengan kelahiran sang Baginda Nabi Muhammad dan kami cinta kepada Beliau, kecintaan kami kepada Beliau sebab kami adalah Mukmin”.
Sumber : Maulid Ar Rosul Sebuah Ungkapan Cinta disusun Oleh Abdurrohim Ats-Tsaury
0 komentar:
Posting Komentar